Bocoran dari AI Gemini Tentang Rahasia Mengatur Pajak Forex

Suatu siang, di hadapan ‘konsultan pajak virtual’ bernama AI Gemini, sembari minum kopi saya mengawali pembicaraan dengan mengajukan pertanyaan pertama yang sangat sederhana dan agak basa basi ke Gemini:

Hi Gemini, apa itu PPh 23?

Bacaan Lainnya

PPh Pasal 23 adalah Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak pemberi penghasilan dari Wajib Pajak atas penghasilan tertentu yang diterima atau diperolehnya.
Secara lebih rinci, PPh Pasal 23 dikenakan atas penghasilan yang bersumber dari:

  • Modal: Meliputi dividen, bunga (termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang), dan royalti.
  • Penyerahan Jasa: Meliputi berbagai jenis jasa seperti jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa-jasa lain yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan.
  • Sewa dan Penggunaan Harta: Meliputi sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa tanah dan/atau bangunan yang dikenakan PPh Final (PPh Pasal 4 ayat 2).
  • Hadiah dan Penghargaan: Selain yang telah dipotong PPh Pasal 21 (yang biasanya berkaitan dengan pekerjaan atau kegiatan pribadi).

Siapa yang memotong PPh 23?
Pihak yang memotong PPh 23 adalah pemberi penghasilan, yang bisa berupa badan pemerintah, penyelenggara kegiatan, subjek pajak dalam negeri, Bentuk Usaha Tetap (BUT), atau bahkan Wajib Pajak Orang Pribadi tertentu yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak.

Tarif PPh 23:
Tarif PPh 23 dibedakan menjadi dua, yaitu:

15% dari jumlah bruto atas:

  • Dividen (kecuali pembagian dividen kepada orang pribadi yang dikenakan PPh Final)
  • Bunga
  • Royalti
  • Hadiah dan penghargaan (selain yang telah dipotong PPh Pasal 21)

2% dari jumlah bruto atas:

  • Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta (kecuali sewa tanah dan/atau bangunan)
  • Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain.

Penting juga untuk diketahui bahwa jika Wajib Pajak yang dipotong tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), maka tarif PPh 23 yang dikenakan akan lebih tinggi 100% dari tarif normal.

Pengecualian PPh 23:
Ada beberapa jenis penghasilan yang dikecualikan dari pemotongan PPh 23, antara lain:
* Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank.
* Sewa yang dibayar atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi.
* Dividen atau bagian laba tertentu yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas, koperasi, BUMN/BUMD.
* Sisa Hasil Usaha (SHU) koperasi yang dibayarkan kepada anggotanya.
* Pembayaran kepada penyedia jasa yang merupakan penggantian (reimbursement) atas biaya yang telah dibayarkan penyedia jasa kepada pihak ketiga, dengan bukti yang sah.

PPh 23 ini sifatnya tidak final, artinya bisa diperhitungkan kembali sebagai kredit pajak pada SPT Tahunan Wajib Pajak yang menerima penghasilan tersebut.

Kalau bagi hasil yang diterima oleh konsultan dari keuntungan transaksi nasabahnya atau client nya apakah bisa masuk PPh 23?

Ya, bagi hasil yang diterima oleh konsultan dari keuntungan transaksi nasabah atau kliennya sangat mungkin masuk dalam objek PPh Pasal 23.

Alasannya adalah sebagai berikut:
* Imbalan Jasa: Pada dasarnya, bagi hasil tersebut merupakan imbalan atas jasa konsultasi yang diberikan. Meskipun bentuknya bagi hasil dari keuntungan, substansinya adalah pembayaran atas layanan yang telah diberikan oleh konsultan.
* Jasa Lain: PPh Pasal 23 mencakup berbagai jenis “jasa lain” selain jasa teknik, manajemen, konstruksi, dan konsultan yang disebutkan secara eksplisit. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 141/PMK.03/2015 mengatur lebih lanjut daftar jasa lain yang dikenakan PPh 23. Umumnya, segala bentuk imbalan atas pekerjaan atau layanan yang bukan gaji/upah (yang masuk PPh 21) dan bukan sewa tanah/bangunan akan masuk kategori ini.
* Tarif 2%: Jika bagi hasil ini dikategorikan sebagai imbalan jasa lain, maka tarif PPh Pasal 23 yang berlaku adalah 2% dari jumlah bruto penghasilan.
* Pihak Pemotong: Pihak yang membayarkan bagi hasil (yaitu nasabah atau klien yang merupakan badan usaha atau Wajib Pajak tertentu) wajib memotong PPh Pasal 23 tersebut pada saat pembayaran atau terutang.

Contoh Kasus:
Seorang konsultan investasi (individu atau badan usaha) membantu nasabah dalam transaksi investasi dan disepakati bahwa konsultan akan mendapatkan bagian dari keuntungan transaksi tersebut. Bagian keuntungan yang diterima konsultan ini akan menjadi objek PPh Pasal 23 bagi nasabah yang membayarkannya.

Hal yang perlu diperhatikan:
* Sifat Hubungan: Penting untuk melihat substansi dari hubungan antara konsultan dan nasabah. Jika hubungan tersebut adalah murni pemberian jasa konsultasi, maka PPh 23 adalah yang paling relevan.
* Perjanjian: Perjanjian antara konsultan dan nasabah harus jelas mengenai skema bagi hasil ini dan bagaimana perpajakannya akan ditangani.
* Wajib Pajak Penerima: Jika konsultan adalah Wajib Pajak Orang Pribadi dan penghasilan dari bagi hasil ini merupakan penghasilan dari pekerjaan bebasnya, maka ia juga akan melaporkannya dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi, dan PPh 23 yang sudah dipotong dapat menjadi kredit pajak.

Singkatnya, ya, bagi hasil yang diterima konsultan dari keuntungan transaksi nasabah/kliennya umumnya akan dikenakan PPh Pasal 23 sebagai imbalan jasa.

Kalau keuntungan transaksi yang didapatkan nasabah dari hasil investasi menggunakan jasa konsultan, misalnya di transaksi valuta asing derivatif, apakah penghasilan keuntungan tersebut bisa menggunakan aturan PPh 23 atau kena PPh 21 progresif?

Ini adalah pertanyaan yang sangat bagus dan sering menimbulkan kebingungan. Mari kita bedah perlakuan pajak atas keuntungan transaksi valuta asing derivatif yang didapatkan oleh nasabah, terutama jika menggunakan jasa konsultan:

1. Keuntungan Transaksi Valuta Asing Derivatif (bagi Nasabah)

Pajak atas keuntungan dari transaksi derivatif, seperti transaksi valuta asing derivatif (Forex/Futures) yang diperdagangkan di bursa, diatur secara khusus. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2009 (sebelumnya PP No. 31 Tahun 2011 yang telah dicabut), penghasilan dari transaksi derivatif berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa dikenakan PPh Final.* Tarif: Besarnya PPh Final adalah 2,5% dari margin awal.
* Sifat: Pajak ini bersifat final, artinya tidak digabungkan dengan penghasilan lain dalam perhitungan PPh pada SPT Tahunan dan biaya-biaya yang terkait dengan penghasilan tersebut tidak dapat dikurangkan.
* Pemungut: Pemungutan PPh Final ini dilakukan oleh Lembaga Kliring Berjangka pada saat menerima penyetoran margin awal oleh pialang berjangka atau anggota bursa. Jadi, nasabah tidak perlu menghitung dan menyetor sendiri.

Penting: Perlu dibedakan antara transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa (resmi) dengan transaksi valuta asing di luar bursa yang mungkin tidak teratur atau ilegal. Perlakuan pajak di atas hanya berlaku untuk transaksi yang diperdagangkan di bursa yang diatur.

2. PPh 23 atau PPh 21 Progresif?

Berdasarkan penjelasan di atas, keuntungan transaksi valuta asing derivatif yang didapatkan nasabah dari investasi yang diperdagangkan di bursa TIDAK dikenakan PPh 23 atau PPh 21 progresif.

* Mengapa Bukan PPh 23? PPh 23 dikenakan atas penghasilan berupa dividen, bunga, royalti, sewa, dan jasa. Keuntungan dari transaksi derivatif ini dikategorikan sebagai penghasilan dari investasi tertentu yang sudah memiliki aturan pajak tersendiri (PPh Final). Pemotong PPh 23 adalah pemberi penghasilan (misalnya perusahaan yang membayar dividen, atau pihak yang membayar jasa), bukan lembaga kliring yang memfasilitasi transaksi derivatif.

* Mengapa Bukan PPh 21 Progresif? PPh 21 progresif dikenakan atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang diterima oleh Wajib Pajak Orang Pribadi (misalnya gaji, honorarium, komisi, dan sejenisnya). Keuntungan investasi adalah penghasilan dari modal, bukan dari pekerjaan atau jasa yang diberikan secara pribadi.

Peran Konsultan:

Dalam konteks ini, jasa konsultan yang Anda sebutkan pada pertanyaan sebelumnya (bagi hasil dari keuntungan) adalah objek PPh Pasal 23. Namun, keuntungan yang diperoleh nasabah dari transaksi derivatif itu sendiri adalah objek PPh Final 2,5% dari margin awal.

Jadi, ada dua lapisan pajak yang berbeda di sini:
* Keuntungan Nasabah: Dikenakan PPh Final 2,5% dari margin awal oleh Lembaga Kliring. Ini adalah pajak atas penghasilan investasi nasabah.
* Imbalan Jasa Konsultan: Jika konsultan menerima bagi hasil dari keuntungan nasabah sebagai imbalan atas jasanya, maka bagi hasil tersebut akan menjadi objek PPh Pasal 23 (tarif 2% untuk jasa) bagi nasabah yang membayarkan kepada konsultan. Ini adalah pajak atas penghasilan konsultan, bukan penghasilan nasabah.

Kesimpulan:
Keuntungan transaksi valuta asing derivatif yang didapatkan nasabah dari investasi menggunakan jasa konsultan (jika diperdagangkan di bursa) dikenakan PPh Final sebesar 2,5% dari margin awal, bukan PPh 23 atau PPh 21 progresif. PPh 23 hanya berlaku untuk imbalan jasa yang diterima oleh konsultan dari nasabah.

Bagaimana jika transaksi SPA (Sistem Perdagangan Alternatif) di luar bursa? Bagaimana aturan pajak keuntungan yang diperoleh nasabah jika menggunakan jasa konsultan dan bagaimana pajak bagi hasil yang diterima oleh konsultan?

Baik, ini adalah area yang lebih kompleks dalam perpajakan, terutama karena transaksi di luar bursa (Over-the-Counter/OTC) seringkali memiliki karakteristik yang berbeda dengan transaksi yang diperdagangkan di bursa resmi.
Mari kita bahas satu per satu:

1. Keuntungan Transaksi SPA (Sistem Perdagangan Alternatif) di Luar Bursa bagi Nasabah
Definisi “Sistem Perdagangan Alternatif” (SPA) sendiri bisa bervariasi. Namun, jika kita berbicara tentang transaksi derivatif atau valuta asing yang dilakukan di luar bursa yang diatur oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), maka perlakuan pajaknya cenderung berbeda dari yang bersifat final.

* Bukan PPh Final 2,5% dari Margin Awal: Aturan PPh Final 2,5% dari margin awal (berdasarkan PP No. 17 Tahun 2009) secara spesifik hanya berlaku untuk transaksi derivatif berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa. Transaksi di luar bursa tidak memenuhi kriteria ini.

* Dikenakan PPh Umum (Tidak Final) dengan Tarif Progresif (bagi Orang Pribadi):
Jika nasabah adalah Wajib Pajak Orang Pribadi, keuntungan yang diperoleh dari transaksi valuta asing atau derivatif di luar bursa akan dianggap sebagai penghasilan lain-lain. Penghasilan ini akan digabungkan dengan penghasilan lainnya (misalnya dari pekerjaan, usaha, dll.) dan dikenakan PPh Pasal 17 dengan tarif progresif.

* Tarif Progresif PPh Orang Pribadi (berdasarkan UU HPP):
* Rp0 s.d. Rp60.000.000: 5%
* Rp60.000.000 s.d. Rp250.000.000: 15%
* Rp250.000.000 s.d. Rp500.000.000: 25%
* Rp500.000.000 s.d. Rp5.000.000.000: 30%
* Di atas Rp5.000.000.000: 35%

* Kewajiban Pelaporan: Nasabah wajib menghitung sendiri keuntungan atau kerugian bersih dari transaksi tersebut selama satu tahun pajak dan melaporkannya dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi (Formulir 1770) pada pos penghasilan dari modal atau penghasilan lain-lain yang tidak termasuk objek PPh Final. Kerugian dapat dikompensasi dengan keuntungan sejenis dalam tahun pajak yang sama.

* Pajak Penghasilan Badan (bagi Badan Usaha): Jika nasabah adalah badan usaha, keuntungan ini akan dihitung sebagai bagian dari penghasilan bruto perusahaan dan akan dikenakan PPh Badan sesuai tarif yang berlaku (saat ini 22%).

2. Pajak Bagi Hasil yang Diterima oleh Konsultan
Perlakuan pajak atas bagi hasil yang diterima oleh konsultan tidak akan berubah signifikan hanya karena transaksi nasabah dilakukan di luar bursa.
* Objek PPh Pasal 23 (jika pemberi penghasilan adalah Badan Usaha/BUT/Wajib Pajak yang ditunjuk):
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bagi hasil yang diterima konsultan sebagai imbalan atas jasa konsultasi tetap akan masuk kategori jasa lain yang dikenakan PPh Pasal 23.
* Tarif: 2% dari jumlah bruto bagi hasil.
* Pemotong: Pihak nasabah (jika nasabah adalah badan usaha, BUT, atau Wajib Pajak yang ditunjuk) wajib memotong PPh 23 ini pada saat pembayaran atau terutang. Konsultan akan menerima bukti potong PPh 23 (Formulir 1721-VII).
* Objek PPh Pasal 21 (jika pemberi penghasilan adalah Orang Pribadi atau jika konsultan adalah Orang Pribadi yang bekerja sebagai bukan pegawai):
Jika pemberi penghasilan (nasabah) adalah Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 23, maka ia tidak memiliki kewajiban untuk memotong PPh Pasal 23. Dalam kasus ini, konsultan (jika konsultan adalah Wajib Pajak Orang Pribadi) akan memiliki kewajiban untuk menghitung dan membayar PPh atas penghasilan tersebut secara mandiri (melalui angsuran PPh Pasal 25, jika memenuhi syarat, dan pelaporan di SPT Tahunan PPh Orang Pribadi).
Jika konsultan adalah Wajib Pajak Orang Pribadi dan bagi hasil tersebut dianggap sebagai penghasilan dari pekerjaan bebas (bukan pekerjaan sebagai karyawan), maka penghasilan neto dihitung menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) atau pembukuan, dan kemudian dikenakan tarif PPh Pasal 17 (progresif). Jika pemberi penghasilan adalah badan usaha dan konsultan adalah orang pribadi, maka akan dipotong PPh Pasal 21 atas penghasilan bukan pegawai.
Ringkasan Perbedaan Utama:

Jadi, poin kuncinya adalah: status “di bursa” atau “di luar bursa” sangat menentukan perlakuan pajak atas keuntungan yang diterima nasabah dari transaksi derivatif/valasnya. Sementara itu, bagi hasil konsultan, selama itu merupakan imbalan atas jasa, akan tetap dikenakan PPh Pasal 23 atau PPh Pasal 21, tergantung pada status pemotong dan penerima.

Jadi untuk nasabah, keuntungan transaksi forex Futures SPA akan dikenakan PPh pasal 17 (progresif) meskipun menggunakan jasa konsultan dengan sistem pembayaran bagi hasil? Lalu bagaimana jika modal transaksi forex Futures SPA tersebut disetor oleh nasabah dalam bentuk badan CV status UKM? Apakah bisa kena pajak flat 0,5% dengan maksimal omset Rp 4,8 milyar per tahun?

Tepat sekali analisis Anda sebelumnya. Mari kita perdalam poin-poin tersebut, terutama terkait dengan status CV UKM.

1. Keuntungan Transaksi Forex Futures SPA (di luar bursa) bagi Nasabah Orang Pribadi:
Untuk nasabah orang pribadi, keuntungan transaksi forex/futures yang dilakukan melalui Sistem Perdagangan Alternatif (SPA) di luar bursa akan dikenakan PPh Pasal 17 (progresif).
* Alasannya: Karena transaksi ini tidak memenuhi kriteria “transaksi derivatif berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa” yang dikenakan PPh Final 2,5% dari margin awal. Oleh karena itu, penghasilan ini digolongkan sebagai penghasilan lain-lain atau penghasilan dari modal yang bersifat tidak final, dan akan digabungkan dengan penghasilan lain Wajib Pajak Orang Pribadi dalam SPT Tahunan, lalu dikenakan tarif PPh Pasal 17 yang progresif.
* Pengaruh Jasa Konsultan Sistem Bagi Hasil: Keberadaan jasa konsultan dengan sistem bagi hasil tidak mengubah perlakuan pajak atas keuntungan yang diterima nasabah. Pajak atas keuntungan nasabah adalah pajak atas penghasilan nasabah itu sendiri. Pajak atas bagi hasil yang diterima konsultan adalah pajak atas penghasilan konsultan, yang mana pemotongnya adalah nasabah jika memenuhi kriteria pemotong PPh 23.

2. Keuntungan Transaksi Forex Futures SPA (di luar bursa) bagi Nasabah Badan Usaha (CV Status UKM)
Nah, untuk nasabah yang berbentuk CV status UKM, perlakuan pajaknya akan berbeda dari orang pribadi dan juga berbeda dari PPh Final 2,5%.
* Tidak Bisa Langsung Kena Pajak Flat 0,5% (PPh Final UMKM):
Aturan pajak flat 0,5% dari omzet bruto (Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022) diperuntukkan bagi Wajib Pajak Badan (termasuk CV) yang memenuhi kriteria UMKM (omzet bruto tidak melebihi Rp4,8 Miliar dalam setahun) dan memperoleh penghasilan dari usaha.
Keuntungan dari transaksi forex/futures, meskipun dilakukan oleh CV, umumnya tidak dikategorikan sebagai “penghasilan dari usaha” dalam konteks PPh Final UMKM. Penghasilan ini lebih tepat dikategorikan sebagai penghasilan dari investasi/modal, atau penghasilan lain-lain di luar kegiatan usaha pokok CV tersebut.

Contoh:

Jika CV bergerak di bidang jasa konstruksi, maka omzet dari jasa konstruksi adalah penghasilan usaha yang bisa dikenakan PPh Final 0,5%. Namun, keuntungan dari transaksi forex/futures adalah penghasilan di luar itu.
* Dikenakan PPh Badan (Tarif Umum):
Oleh karena itu, keuntungan dari transaksi forex/futures SPA yang diperoleh CV status UKM akan dikenakan PPh Badan dengan tarif umum, yaitu 22% (tarif saat ini).
* Perhitungan: Keuntungan tersebut akan digabungkan dengan penghasilan lain CV (jika ada) dan dikurangi dengan biaya-biaya yang relevan (misalnya, biaya platform, biaya transaksi, atau bahkan bagi hasil yang dibayarkan kepada konsultan sebagai biaya jasa). Laba bersih yang dihasilkan akan dikenakan tarif PPh Badan.
* Kredit Pajak (jika ada): Jika ada PPh 23 yang dipotong atas bagi hasil yang dibayarkan kepada konsultan, itu adalah kewajiban CV sebagai pemotong. Namun, PPh 23 yang diterima oleh konsultan bisa menjadi kredit pajak bagi konsultan, bukan bagi CV. CV akan menghitung dan membayar PPh Badannya sendiri.
Mengapa tidak PPh Final UMKM 0,5%?
Konsep PPh Final UMKM 0,5% adalah untuk menyederhanakan perpajakan bagi UMKM atas penghasilan dari usaha inti mereka. Transaksi investasi seperti forex/futures, meskipun bisa menghasilkan keuntungan, tidak dianggap sebagai kegiatan usaha utama yang dikenakan tarif khusus ini. Jika semua jenis penghasilan bisa dikenakan 0,5%, maka tujuan aturan tersebut akan bergeser.

Kesimpulan:
* Nasabah Orang Pribadi: Keuntungan Forex Futures SPA (di luar bursa) kena PPh Pasal 17 (progresif).
* Nasabah Badan Usaha (CV Status UKM): Keuntungan Forex Futures SPA (di luar bursa) kena PPh Badan tarif umum 22%, tidak bisa menggunakan PPh Final UMKM 0,5%. Pajak 0,5% hanya untuk penghasilan dari usaha pokok CV.
Perlu diingat bahwa interpretasi perpajakan bisa kompleks, dan jika jumlah transaksinya signifikan, sangat disarankan untuk berkonsultasi langsung dengan konsultan pajak profesional atau Kantor Pelayanan Pajak (KPP) setempat untuk mendapatkan konfirmasi yang paling akurat sesuai dengan kondisi spesifik dan peraturan terbaru.

Terima kasih banyak. Sangat bermanfaat.

Sama-sama! Senang sekali bisa membantu Anda memahami lebih jauh tentang PPh 23 dan implikasinya pada berbagai jenis penghasilan, terutama yang terkait dengan transaksi investasi dan peran konsultan.
Jika ada hal lain yang ingin Anda diskusikan atau pertanyaan lebih lanjut seputar perpajakan, jangan ragu untuk bertanya, ya. (bbi/aye)

Penulis: Agung Yunianto. SIP

Pos terkait