Aku bertumbuh, keluargaku mengalami pertumbuhan.
Jiwa kita yang berasal dari Sang Maha Sumber, dimampukan untuk menyaksikan manifestasi KehadiranNYA dalam berbagai hal. KehadiranNYA pun hadir dalam susunan kimia tubuh, yaitu adenine, thymine, cytosine, dan guanine (A, T, C, G). Susuan kimia basa tersebut ditemukan oleh Watson dan Crick yang kita kenal sebagai DNA.
Pada penelitian lain menyebutkan, perlakuan terhadap DNA yang dibelah dan pisahkan jarak puluhan kilometer. Kita sebut DNA-A dan DNA-B yang berasal dari DNA yang sama. Salah satu DNA diberi stimulus untuk melihat respon dari DNA-A. Saat DNA-A diberi stimulus tanpa disangka, DNA-B yang terpisah jarak ruang puluhan kilometer melakukan respon yang sama persis dari respon DNA-A dengan selisih waktu nol. Jadi respon yang diberikan oleh DNA-A sama persis dengan respon yang diberikan oleh DNA-B secara bersamaan terhadap stimulus.
Susunan DNA yang ada pada diri kita dan yang ada pada garis nasab kita akan melakukan respon yang sama secara bersamaan. Dengan hasil penelitian ini, memaparkan bahwa perjalanan jiwa me-shifting cara pandang terhadap realitas, juga terjadi pada jiwa garis nasab kita. Hal ini menjelaskan dari Fatwa Guru Mursyid kita, tujuh garis ke atas dan tujuh garis ke bawah terselamatkan dengan kita berTuhan. Terminologi “berTuhan” disini menjelaskan tentang shifting jiwa dari mengidentifikasi diri sebagai ego menjadi mengidentifikasi Diri sebagai Diri Transenden, Spirit, Diri Ilahiah, Super-Conscious Mind, Makhluk Surga, dan berbagai sebutan perihal Diri yang berasal dari Allah SWT.
Kehadiran Diri sebagai Diri Ilahiah dapat merubah konfirgurasi ‘otak’ sel dan itu terjadi pada semua garis nasab kita. Perubahan konfigurasi ini bisa terjadi dengan kecerdasan nondual yang terbahasakan/diucapkan dan sikap perilaku yang dilakukan tubuh fisik, bisa juga perubahan konfigurasi ini terjadi tanpa kata dan tindakan fisik, cukup dengan hadir sebagai Diri Ilahiah. Paradigma ini menjadikan Diri mengalami non-attach (tidak terikat) terhadap hal hal yang dirasa perlu dalam kontrol, yang melahirkan relasi kuasa terhadap keluarga.
Pertanyaan berikutnya adalah sudah sejauh mana Diri ini berikhtiyar berjalan di jalan Allah SWT menggeser (shifting) identifikasi Diri? Sejauh mana kita mengkonfirmasi wilayah blind-spot (realitas yang belum diketahui oleh jiwa)? Yang kemudian terilmui oleh ilmu yang berasal dari Allah SWT, “dicerdikan”.
Keluarga kita juga menjalani pergeseran besar pada jiwanya saat kita mengambil tanggung jawab untuk menjalani perjalanan spiritual menuju Allah SWT (belajar dan peragaan). Pada hakekatnya tidak ada keterpisahan jiwa, tidak dicacah, tidak dipisah.
Subhanallah. Yaa Rabbana. (bbi/arw)
Penulis : Arinda Widyaningtyas